Ancaman bagi Kebebasan Berpendapat atau Pelindung bagi Masyarakat ?
Pangkalpinang, SinergiBabel.Com — Dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar utama yang dijamin oleh konstitusi. Di Indonesia, kebebasan ini diakui dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun, revisi RUU KUHP yang di dalamnya memuat ketentuan terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara memunculkan polemik, apakah regulasi ini akan menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat atau justru berfungsi sebagai pelindung bagi masyarakat.
Revisi RUU KUHP yang sedang dibahas mencakup beberapa pasal yang dianggap berpotensi membatasi kebebasan berpendapat. Salah satunya adalah Pasal 240 yang mengatur ancaman pidana terhadap siapa saja yang menghina pemerintah yang sah, dan Pasal 241 yang melindungi lembaga-lembaga negara dari penghinaan.
Ancaman pidana dalam pasal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kritik terhadap pemerintah dapat dikriminalisasi.
Kritik terhadap ketentuan-ketentuan ini terutama datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa RUU KUHP berpotensi mengancam kebebasan berpendapat. Mereka berpendapat bahwa aturan-aturan ini tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga dapat digunakan secara subjektif oleh pihak berwenang untuk menekan kritik terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah. Dengan demikian, kebebasan berbicara yang selama ini dilindungi konstitusi bisa tergerus dan mempersempit ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pandangan kritis terhadap kekuasaan.
Di dalam demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang tidak boleh dikekang oleh kekuasaan negara, kecuali dalam batas-batas yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan hak tersebut. Pasal-pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara dalam RUU KUHP ini dinilai tidak memberikan keseimbangan yang cukup antara perlindungan terhadap pemerintah dengan hak publik untuk berpendapat.
Di sisi lain, pihak pemerintah berpendapat bahwa pasal-pasal ini diperlukan untuk menjaga martabat dan wibawa negara serta institusi-institusi yang sah. Mereka mengklaim bahwa ketentuan ini bukan bertujuan untuk membatasi kritik, melainkan untuk mencegah penghinaan yang dapat menimbulkan perpecahan dan disintegrasi sosial. Mereka juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara kritik yang membangun dengan penghinaan yang merendahkan martabat, di mana penghinaan ini tidak hanya berisiko merusak citra pemerintah tetapi juga dapat memicu ketidakstabilan politik.
Namun, kritikus menilai bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat justru akan memperlemah kontrol publik terhadap pemerintah. Dalam sebuah sistem demokrasi, kebebasan untuk mengkritik adalah mekanisme penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. (*)